Senin, 17 Maret 2014

KEKERASAN TERHADAP ANAK


Tulisan ini saya susun berdasarkan beberapa sumber, karena sangat teriris hati ini membaca berita penyiksaan seorang balita di:

 

- http://www.dikonews.com/2014/03/15/123742-hasil-ngamen-sedikit-bocah-dianiaya-ayah-angkat
- http://pontianak.tribunnews.com/2014/03/15/hasil-ngamen-tak-sesuai-bocah-itu-disiksa
- http://news.liputan6.com/read/2023169/video-hasil-ngamen-sedikit-bocah-dianiaya-ayah-angkat
- http://id.berita.yahoo.com/bocah-3-5-tahun-disiksa-kalau-tak-dapat-113349918.html

 


Semoga Tuhan YME memulihkan kesehatannya, memberinya kesempatan untuk hidup dalam kebahagiaan dan tercukupi semua kebutuhannya, serta bisa menjadi orang yang berguna dan teladan bagi kita semua. Amin.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME yang wajib dirawat dan dilindungi. Menurut KHA (Konvensi Hak Anak), anak adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun. Di dalam diri anak terdapat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, oleh karena itu anak memiliki hak asasi yang diakui. Setiap anak  membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus, perlindungan hukum baik sebelum ataupun sesudah lahir dalam masa tumbuh kembang secara fisik dan mental.

Keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian akan menjadi faktor utama dalam perkembangan kepribadian anak secara utuh. Keluarga adalah tempat bagi anak untuk memperoleh perlindungan, pengajaran, dan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini dilakukan untuk menjamin pertumbuhan fisik dan mental mereka.

Namun pada kenyataannya saat ini ada, bahkan banyak orang tua tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga anak-anak tersebut menjadi terlantar dan terisolasi. Fenomena kekerasan terhadap anak semakin gencar dan menjadi topik utama dalam sebuah pemberitaan, baik media cetak maupun media elektronik, bahkan pelakunya berasal dari keluarganya sendiri.

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari selalu ditekankan kewajiban untuk mentaati orang tua. Akan tetapi seringkali dalam memenuhi keinginan orang tua anak-anak berada di bawah ancaman. Hal ini memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Orang tua beranggapan bahwa dengan kekerasan anak dapat menjadi patuh, tetapi hal ini menjadikan anak menjadi bandel dan keras kepala. Bertolak dari itu maka timbul perilaku orang tua yang sebenarnya tidak boleh dilakukan terhadap anak, seperti pemukulan, pengurungan (penyekapan), caci maki dengan kata-kata kotor dan lain-lain.  Astaghfirullahal 'adziim.

Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. 

Sebagian besar terjadinya kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak. Yurisdiksi yang berbeda telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang apa yang merupakan pelecehan anak untuk tujuan melepaskan anak dari keluarganya dan/atau penuntutan terhadap suatu tuntutan pidana. 

Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah "setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyajikan risiko besar akan bahaya yang serius". Seseorang yang merasa perlu untuk melakukan kekerasan terhadap anak atau mengabaikan anak sekarang mungkin dapat digambarkan sebagai "pedopath".

1. Penelantaran

Penelantaran anak kondisi/situasi ketika orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).


2. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.

Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi.

Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian tidak sah. Di luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan sangat bervariasi: kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.

Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya. 

3. Pelecehan Seksual 

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis , kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian)dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya.

Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.

4. Kekerasan Emosional/Psikologis

Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.

Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.

PREVALENSI

Menurut Komite Nasional (Amerika) untuk Tindak Pencegahan Kekerasan pada Anak, pada tahun 1997 pengabaian mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang terkonfirmasi, kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional 4% dan bentuk kekerasan lainnya sebesar 12%.

Sementara itu, data kekerasan terhadap anak relatif lebih sulit didapatkan, namun pada tingkat nasional, data Survei Kekerasan terhadap Perempuandan Anak Tahun 2006 mencatat bahwa angka kekerasan terhadap anakmencapai 3,02%, yang berarti setiap 10.000 anak Indonesia sekitar 302 anak pernah mengalami kekerasan. Pada tahun 2006 kekerasan terhadap anak berjumlah 2,29 juta jiwa, dan sekitar 1,23 juta jiwa di antaranya adalah anak laki-laki dan 1,06 juta jiwa adalah anak perempuan.

Kekerasan yang seringkali dialami anak di daerah perdesaan dan perkotaan memiliki pola yang sama. Jenis tindak kekerasan yang paling tinggi adalah penganiayaan yaitu sekitar 48% dialami anak-anak di perkotaan dan sekitar 57,3% dialami anak-anak di perdesaan. Kemudian kekerasan lainnya yang cukup tinggi adalah penghinaan, pelecehan seksual, dan penelantaran. Lebih ironis lagi 51,9%  korban kekerasan tersebut mengalami tidak hanya sekali tetapi beberapa kali kekerasan.

Angka prevalensi kekerasan terhadap anak secara nasional ini dapat dijadikan panduan untuk menentukan prevalensi angka kekerasan terhadap anak untuk masing-masing daerah di Indonesia. Sebuah kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak adalah hasil dari kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi faktor yang berkontribusi untuk kematian anak.

Penyebab Penganiayaan

Kekerasan pada anak merupakan fenomena yang kompleks dengan penyebab yang bermacam-macam.Memahami penyebab kekerasan sangat penting untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak.
Pendapat yang satu ini memang masih dipertanyakan kebenarannya. Pelaku penganiayaan biasanya telah sering melihat ataupun mengalami penganiayaan, kehilangan, penolakan serta kurang mendapat kasih sayang yang memadai saat mereka masih anak-anak. Mereka kemungkinan memiliki orang tua yang gagal memberikan hal positif sebagai pengasuh. Atas pengalaman itu, perasaan tidak adekuatnya menguat hingga menyebabkan image diri yang negatif.

Dalam segi kepribadian, penganiayaan sedikitnya disebabkan pelaku mengalami gangguan internal, misalnya kepercayaan diri yang kurang, permusuhan, ataupun tekanan pekerjaan. Karena kebutuhan mempertahankan penampilan positif, mereka akhirnya menggunakan mekanisme pertahanan primitif berupa menyalahkan orang lain, hingga melakukan penganiayaan.

Ciri khas lainnya adalah ketidakpercayaan pada orang lain, kurang berinteraksi dengan sosial yang menyebabkan isolasi diri. Akibat kekurangan ketergantungan pada orang lain, maka sebuah penyiksaan dinilai sebagai sebuah kompensasi. Sedangkan anggapan nonteknis dalam masyarakat, status anak merupakan sebuah penyebab penganiayaan tertinggi, apalagi mengalami gangguan yang akan dijelaskan di bawah. Ayah tiri cenderung melakukan kekerasan pada anak isterinya, sebab perhatian sang isteri biasanya lebih cenderung pada anaknya. 

Dan sebaliknya. Anak-anak yang cenderung menjadi korban penganiayaan biasanya adalah anak-anak yang memiliki masalah fisik, perkembangan dan psikologik, yang menyebabkan pengasuhan menjadi sulit. Misalnya anak yang sulit diasuh secara normal, seperti anak iritabel, hiper tonus, hipoaktif, lambat, sehingga sulit menyesuaikan diri. Demikian pula halnya dengan anak dengan gangguan fisik dan perkembangan yang memerlukan penanganan medis atau pendidikan khusus. Misalnya anak-anak berpenyakit fisik kronis, retardasi mental, keterlambatan berbicara atau cacat bawaan.

Banyak pula ahli beranggapan, faktor ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya penganiayaan anak. Ini didasari oleh berbagai data yang menunjukkan bahwa banyak penganiayaan anak terjadi pada kelompok ekonomi rendah. Namun banyak pula ahli yang tak sependapat. Mereka menganggap bahwa stres lingkungan bukanlah penyebab utama, tetapi stres ini berinteraksi dengan faktor kepribadian orang tua atau pengasuh dan perilaku anak mencetuskan suatu penganiayaan. 

Akibat/Efek Penganiayaan

Ada asosiasi kuat antara paparan penganiayaan anak-anak dalam segala bentuk dan tingkat yang lebih tinggi dari kondisi kronis.
Akibat yang paling berbahaya adalah pada balita antara lain: dapat menyebabkan kesulitan makan, kesedihan, kemarahan, dan penarikan diri pada sosial serta kekurangaktifan. Juga dapat terjadi perlambatan berbicara dan berbahasa serta perkembangan monotoris. Pada anak-anak pra sekolah, seringkali menjadi anak yang suka menyerang sebayanya dan menunjukkan ketidakpercayaan terhadap orang dewasa.

Penganiyaan pada anak yang sudah sekolah akan menghambat perkembangan fisik, menyebabkan gangguan stres paska trauma yang meliputi pengalaman panik yang hebat, merasa tak tertolong, mimpi-mimpi teror dan perilaku agresif.

Mereka akan menghadapi sesuatu yang baru dengan ketakutan, kecemasan, dan ketidakpercayaan. Dalam usaha membela diri terhadap sesuatu yang tak diinginkannya, mereka cenderung melakukan provokasi dan pembelaan primitif yaitu berupa penolakan kasar dan penyalahan orang lain.

Anak-anak ini akan cenderung bersikap agresif karena gagalnya mengontrol impuls. Di sekolah dapat menyebabkan gangguan penyesuaian pada segala hal. Jika tak ditangani, pada usia remajanya akan berperilaku anti sosial atau menyukai sesuatu yang bersifat kasar dan keras; bicara kasar, balapan liar atau perkelahian. Di samping itu, mereka juga dapat mengalami konsep diri yang rendah dan depresi yang berlebihan, yang menyebabkan berperilaku pengrusakan diri, seperti narkoba atau seks bebas. 

Susunan saraf pusat yang terganggu akibat penganiayaan pada masa kecil juga dapat menyebabkan mental yang lemah, sehingga jika terjadi suatu masalah, kemampuan kesadaran diri sangat tipis hingga bisa membuat pencederaan diri sendiri dan bunuh diri. 

Pencegahan Penganiayaan/Kekerasan

April telah ditetapkan sebagai bulan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Amerika Serikat sejak tahun 1983. Presiden AS Barack Obama melanjutkan tradisi yang dengan menyatakan bulan April 2009 sebagai Bulan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Federal Amerika Serikat dengan menyediakan dana untuk mencegah tindak kekerasan terhadap anak adalah melalui Dana Hibah Berbasis Masyarakat untuk Pencegahan Pelecehan dan Pengabaian terhadap Anak (CBCAP).

Pencegahan Primer
Untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar  perlakuan salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba.

Pencegahan Sekunder
Ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan ketrampilan, pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan self apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari.

Pencegahan Tersier
Dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tatalaksana stres.

PERAWATAN

Sejumlah pengobatan tersedia untuk korban tindak kekerasan terhadap anak. Pemberian pertolongan terhadap anak dan atau keluarganya yang dapat berupa bantuan konkrit (uang, barang, perumahan/tempat tinggal), bantuan penunjang (penitipan anak, pelatihan manajemen stress, perawatan medis), atau penyembuhan (konseling, terapi kelompok, rehabilitasi sosial).


PROGRAM DEPSOS RI

Program Rehabilitasi Sosial :

  • Temporary Shelter (Tempat Perlindungan Sementara).
  • Pelayanan Lainnya, seperti: Program penjangkauan yang dilakukan LSM, Ruang Pemeriksaan  Khusus (RPK) dari pihak kepolisian, Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM, RS POLRI Kramat Jati, dan Rumah Sakit lainnya, Lembaga Bantuan Hukum, Krisis-krisis Center, Shelter-shelter, dsb.
  • Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).
  • Panti Perlindungan dan Rehabilitasi untuk Anak Korban Tindak Kekerasan

Program Reintegrasi Sosial :
  • Pendampingan oleh pekerja sosial.
  • Monitoring berkala terhadap proses kemajuan anak.
  • Evaluasi pencapaian tujuan.
  • Terminasi bilamana keluarga/keluarga pengganti sudah dapat melakukan fungsi dan perannya dengan baik

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar